Oleh: Maria Ekaristi & Agung Bawantara
Bagi kebanyakan orang, ini mungkin pertemuan unik: kartun dengan musik. Tapi bagi para punggawa majalah (sekaligus komunitas) kartun “Bogbog” hal ini adalah hal yang biasa saja. Maklum, beberapa kartunis beken dalam kelompok tersebut adalah mantan personel band yang pada eranya pernah sangat ngetop di Denpasar. Karena itulah, untuk merayakan hari ulang tahun ke-10 majalah kartun tersebut mereka menyelenggarakan acara bertajuk "Cartoon Of Rock".
Ajang ini merupakan wahana apresiasi musik (dan kartun) bagi anak-anak muda. Tujuh grup independen (indie) terpilih akan tampil dalam acara yang digelar di Serambi Arts Antida Jalan Waribang No. 32 Denpasar, Sabtu 2 April 2011. Mereka adalah The Rolic, Garis, The Phoneeto, Seems, Joyride, Hanamura dan Dewa Sugama. Mereka akan tampil secara bergiliran mulai pukul 16.00 hingga pukul 23.00.
Menurut Jango Paramartha, Pemimpin Redaksi “Bogbog”, semangat penyelenggaraan acara ini adalah membangkitkan motivasi dan semangat kreativitas di kalangan anak muda. Sebab, menurut Jango, dengan kreativitaslah kita bisa membuat kehidupan ini menjadi selalu indah untuk dijalani.
Selain itu, acara ini juga bermaksud untuk memompakan terus semangat independensi di kalangan anak-anak muda, agar mereka terus melakukan proses kreatif yang sehat dengan penuh rasa percaya diri.
“Ini penting! Independensi merupakan modal dasar seseorang untuk berkarya dan mengakali keterbatasan-keterbatasan yang ada tanpa mengeluh dan merengek macam anak cengeng,” papar Jango sembari menerangkan semangatnya untuk mendekatkan kartun ke sebanyak mungkin kalangan masyarakat.
Selain gelaran musik, pada perayaan hari ulang tahunnya kali ini, Bogbog juga menyeleggarakan lomba lukis dan workshop kartun untuk anak-anak.
|
|
|
|
---|
Rabu, 30 Maret 2011
Kartun + Musik = Cartoon of Rock
Bali Better Prepared for Globalization Indonesia's Minister of Home Affairs Says Bali Best Equipped for Free Trade
(10/15/2001) Indonesia's Minister of Home Affairs, Mr. Hari Sabarno, cited Bali as the best from among all the nation's provinces to confront the issues of free trade.
At a meeting on Saturday (13 October) with regional, metropolitan, security, and village officials in Bali - the Minister said Bali's preparedness for free-trade in the post-AFTA period starting in 2003 was reflected in the island's rejection of "sweeping" against foreign nationals threatened in other areas of the nation. According to the Minister, Bali's continuing stability and safety has a very beneficial effect within the context of Bali's international relationships.
At a meeting on Saturday (13 October) with regional, metropolitan, security, and village officials in Bali - the Minister said Bali's preparedness for free-trade in the post-AFTA period starting in 2003 was reflected in the island's rejection of "sweeping" against foreign nationals threatened in other areas of the nation. According to the Minister, Bali's continuing stability and safety has a very beneficial effect within the context of Bali's international relationships.
Selasa, 29 Maret 2011
Tsunami, Jumlah Turis Jepang ke Bali Menurun Tajam
Oleh: Maria Ekaristi & Agung Bawantara
Pasca-gempa dan tsunami di Jepang, sebanyak 1.200 kamar hotel dibatalkan pemesananya oleh wisatawan Jepang. Hal ini diungkapan oleh Kepala Dinas Pariwisata Bali, Ida Bagus Subhiksu, kepada pers beberapa waktu lalu. Penurunan kunjungan wisatawan dari negeri matahari terbit itu menyusul kemerosotan kunjungan akibat krisis ekonomi global yang menurun secara signifikan yakni sebesar 20 persen disbanding kunjungan pada tahun sebelumnya. Menurut Subhiksu, penurunan kunjungan tersebut berawal sejak 2008.
Sementara menurut Ketua Bali Tourism Board (BTB) IB Ngurah Wijaya, penurunan wisatawan Jepang terlihat mulai tahun 2009, saat jumlah kunjungan turun dari 400.000 wisatawan menjadi sekitar 300.000 wisatawan pada 2010. Tahun ini, akibat bencana gempa dan tsunami, diprediksikan tingkat kunjungan wisatawan Jepang ke Bali akan mengalami penurunan hingga 25 persen.
Akibat merosotnya kunjungan turis Jepang tersebut, Perry Markus, Sekretaris Perhimpunan Hotel dan Restoran Indonesia (PHRI) Bali memperkirakan terjadi kerugian akumulatif sebesar Rp 1,7 miliar bagi Bali. Angka tersebut, menurut Perry diperoleh dengan mengalikan pembatalan 1.308 kamar dan harga rata-rata kamar hotel bintang tiga dan lima sebesar Rp 750 ribu per malam di sekitar Kuta, Nusa Dua, Tuban, dan Sanur.
Pasca-gempa dan tsunami di Jepang, sebanyak 1.200 kamar hotel dibatalkan pemesananya oleh wisatawan Jepang. Hal ini diungkapan oleh Kepala Dinas Pariwisata Bali, Ida Bagus Subhiksu, kepada pers beberapa waktu lalu. Penurunan kunjungan wisatawan dari negeri matahari terbit itu menyusul kemerosotan kunjungan akibat krisis ekonomi global yang menurun secara signifikan yakni sebesar 20 persen disbanding kunjungan pada tahun sebelumnya. Menurut Subhiksu, penurunan kunjungan tersebut berawal sejak 2008.
Sementara menurut Ketua Bali Tourism Board (BTB) IB Ngurah Wijaya, penurunan wisatawan Jepang terlihat mulai tahun 2009, saat jumlah kunjungan turun dari 400.000 wisatawan menjadi sekitar 300.000 wisatawan pada 2010. Tahun ini, akibat bencana gempa dan tsunami, diprediksikan tingkat kunjungan wisatawan Jepang ke Bali akan mengalami penurunan hingga 25 persen.
Akibat merosotnya kunjungan turis Jepang tersebut, Perry Markus, Sekretaris Perhimpunan Hotel dan Restoran Indonesia (PHRI) Bali memperkirakan terjadi kerugian akumulatif sebesar Rp 1,7 miliar bagi Bali. Angka tersebut, menurut Perry diperoleh dengan mengalikan pembatalan 1.308 kamar dan harga rata-rata kamar hotel bintang tiga dan lima sebesar Rp 750 ribu per malam di sekitar Kuta, Nusa Dua, Tuban, dan Sanur.
Minggu, 27 Maret 2011
Lagi, Setelah 380 Tahun Tidak Diselenggarakan di Taro
Oleh: Agung Bawantara
Upacara ini berlangsung setiap sepuluh tahun sekali. Namanya Panca Bali Krama. Yang kerap diberitakan, di Bali, upacara ini diselenggarakan di Pura Agung Besakih (Karangasem) dan Pura Agung Ulun Danu Batur (Bangli). Namun kali ini, Panca Bali Krama diselenggarakan di Pura Agung Gunung Raung, Taro, Tegallalang, Gianyar. Rangkaian upacara ini berlangsung selama hampir sebulan penuh. Diawali dengan prosesi nunas tirta (mohon air suci) di tiga gunung di Jawa Timur yakni Gunung Semeru, Gunung Bromo dan Gunung Raung (9/3), Melasti ke pantai Purnama Sukawati, Gianyar (13/3), Tawur Agung (20/3), Pucak Karya atau upacara puncak (23/3) hingga Nyineb Karya atau penutupan upacara pada Rabu, 4 April 2011.
Tentang Pura Gunung Raung, ini adalah pura yang dibangun oleh Rsi Markandya pendiri ashram di Damalung, Jawa Timur, yang kemudian datang ke Bali pada abad ke-8 untuk menyebarkan ajaran Sanatana Dharma (Kebenaran Abadi) yang kini dikenal dengan sebutan Hindu Dharma.
Setelah mengawali langkahnya dengan mendirikan Pura Basukian di Besakih, Rsi Markandya membangun pasraman (semacam pesantrian) di Taro. Pasraman inilah yang kemudian menjadi cikal-bakal berdirinya Pura Gunung Raung di Desa Taro tersebut.
Di desa Taro, Pura Gunung Raung ini terletak persis di tengah-tengah desa dan menjadi pembatas Banjar Taro Kaja (utara) dan Banjar Taro Kelod (selatan). Ini adalah sesuatu yang unik, sebab pada umumnya letak pura di Desa Kuno di Bali adalah di daerah hulu dan di daerah hilir desa. Riwayat perjalanan Sang Rsi hingga mendirikan Pura Gunung Raung ini tercatat dalam lontar Bali Tatwa yang sudah mulai diterjemahkan ke dalam bahasa Indonesia.
Dipadati Umat
Selama sebulan, setiap hari ratusan umat Hindu dari seluruh Bali datang untuk bersembahyang. Ada yang datang pagi hari bersamaan dengan upacara Penganyar yang diselenggarakan setiap pagi, ada pula yang datang pada siang, sore bahkan malam hari.
Pada Pucak Karya atau upacara puncak yang digelar pada Rabu (23/3) yang lalu, prosesi upacara dan persembahyangan dipimpin oleh lima sulinggih yakni Ida Pedanda Gede Putra Tembau (Griya Gede Aan), Ida Pedanda Gede Putra Bajing (Griya Tegal Jingga Denpasar), Ida Pedanda Gede Jelantik Karang (Griya Buda Keling, Karangasem), Ida Pedanda Made Gunung (Blahbatuh), dan Ida Pedanda Nyoman Jelantik Dwija (Griya Buda Keling, Karangasem).
Sebelum upacara penutupan pada 3 April 2011 yang ditandai dengan prosesi Rsi Bujana dan Nyineb Ida Bhatara, pada tanggal 30 Maret diselenggarakan beberapa upacara terkait yakni Nyenuk, Nangun Ayu, dan Pengusaban ring Bale Agung. Sedangkan pada tanggal 10 April akan diselenggarakan upacara Nyegara Gunung sebagai rangkaian akhir dari upacara Panca Bali Krama.
Di Pura Gunung Raung Taro, terakhir kali upacara serupa diselenggarakan 380 tahun yang lalu. Hingga saat ini belum ada penjelasan resmi mengapa upacara ini begitu lama tidak diselenggarakan di pura tersebut.
Catatan: Foto-foto karya I Made Widnyana Sudibia
Tulisan Terkait:
Pura Gunung Raung, Dari Sebuah Pohon Bercahaya
Upacara Sepuluh Tahunan di Pura Besakih
Panca Bali Krama, Bangun Keharmonisan Jagat
Upacara ini berlangsung setiap sepuluh tahun sekali. Namanya Panca Bali Krama. Yang kerap diberitakan, di Bali, upacara ini diselenggarakan di Pura Agung Besakih (Karangasem) dan Pura Agung Ulun Danu Batur (Bangli). Namun kali ini, Panca Bali Krama diselenggarakan di Pura Agung Gunung Raung, Taro, Tegallalang, Gianyar. Rangkaian upacara ini berlangsung selama hampir sebulan penuh. Diawali dengan prosesi nunas tirta (mohon air suci) di tiga gunung di Jawa Timur yakni Gunung Semeru, Gunung Bromo dan Gunung Raung (9/3), Melasti ke pantai Purnama Sukawati, Gianyar (13/3), Tawur Agung (20/3), Pucak Karya atau upacara puncak (23/3) hingga Nyineb Karya atau penutupan upacara pada Rabu, 4 April 2011.
Tentang Pura Gunung Raung, ini adalah pura yang dibangun oleh Rsi Markandya pendiri ashram di Damalung, Jawa Timur, yang kemudian datang ke Bali pada abad ke-8 untuk menyebarkan ajaran Sanatana Dharma (Kebenaran Abadi) yang kini dikenal dengan sebutan Hindu Dharma.
Setelah mengawali langkahnya dengan mendirikan Pura Basukian di Besakih, Rsi Markandya membangun pasraman (semacam pesantrian) di Taro. Pasraman inilah yang kemudian menjadi cikal-bakal berdirinya Pura Gunung Raung di Desa Taro tersebut.
Di desa Taro, Pura Gunung Raung ini terletak persis di tengah-tengah desa dan menjadi pembatas Banjar Taro Kaja (utara) dan Banjar Taro Kelod (selatan). Ini adalah sesuatu yang unik, sebab pada umumnya letak pura di Desa Kuno di Bali adalah di daerah hulu dan di daerah hilir desa. Riwayat perjalanan Sang Rsi hingga mendirikan Pura Gunung Raung ini tercatat dalam lontar Bali Tatwa yang sudah mulai diterjemahkan ke dalam bahasa Indonesia.
Dipadati Umat
Selama sebulan, setiap hari ratusan umat Hindu dari seluruh Bali datang untuk bersembahyang. Ada yang datang pagi hari bersamaan dengan upacara Penganyar yang diselenggarakan setiap pagi, ada pula yang datang pada siang, sore bahkan malam hari.
Pada Pucak Karya atau upacara puncak yang digelar pada Rabu (23/3) yang lalu, prosesi upacara dan persembahyangan dipimpin oleh lima sulinggih yakni Ida Pedanda Gede Putra Tembau (Griya Gede Aan), Ida Pedanda Gede Putra Bajing (Griya Tegal Jingga Denpasar), Ida Pedanda Gede Jelantik Karang (Griya Buda Keling, Karangasem), Ida Pedanda Made Gunung (Blahbatuh), dan Ida Pedanda Nyoman Jelantik Dwija (Griya Buda Keling, Karangasem).
Sebelum upacara penutupan pada 3 April 2011 yang ditandai dengan prosesi Rsi Bujana dan Nyineb Ida Bhatara, pada tanggal 30 Maret diselenggarakan beberapa upacara terkait yakni Nyenuk, Nangun Ayu, dan Pengusaban ring Bale Agung. Sedangkan pada tanggal 10 April akan diselenggarakan upacara Nyegara Gunung sebagai rangkaian akhir dari upacara Panca Bali Krama.
Di Pura Gunung Raung Taro, terakhir kali upacara serupa diselenggarakan 380 tahun yang lalu. Hingga saat ini belum ada penjelasan resmi mengapa upacara ini begitu lama tidak diselenggarakan di pura tersebut.
Catatan: Foto-foto karya I Made Widnyana Sudibia
Tulisan Terkait:
Pura Gunung Raung, Dari Sebuah Pohon Bercahaya
Upacara Sepuluh Tahunan di Pura Besakih
Panca Bali Krama, Bangun Keharmonisan Jagat
Senin, 21 Maret 2011
Penjor, Ungkapan Syukur atas Kehidupan dan Keselamatan
Oleh: Agung Bawantara
Penjor adalah sebatang bambu utuh dari pangkal hingga ujung yang dihias dengan pucuk enau atau janur yang diukir. Pada batang bambu tersebut juga digantungkan berbagai jenis hasil bumi yakni padi, pala bungkah (umbi-umbian), pala gantung (kelapa, mentimun, pisang, nanas), pala wija (jagung), kue dan tebu. Pada ujung bambu, digantungkan sampyan, yakni sebuah rakitan janur berbentuk seperti cupu dengan beraneka bunga dan porosan di dalamnya. Porosan adalah setangkup sirih pinang yang dikemas dengan potongan janur sepanjang ruas jari. Sebagai pelengkap, pada lengkungan penjor juga digantungkan dua lembar kecil kain berwarna putih dan kuning serta sebelas uang kepeng.
Penjor merupakan sarana upacara yang biasanya ditancapkan di depan rumah penganut Hindu di Bali terutama pada Hari raya Galungan – Kuningan. Penjor juga menjadi kelengkapan pada upacara-upacara besar di Pura.
Sebagai sarana upacara, penjor dilengkapi dengan lamak, yaitu semacam taplak panjang dari daun enau yang dirajut dengan lidi bambu. Penjor juga dilengkapi dengan Sanggah yaitu rajutan bambu berbentuk bujur sangkar dengan atap melengkung (oval).
Secara filosofis penjor merupakan simbol dari gunung yang diyakini oleh umat Hindu di Bali sebagai tempat berkumpulnya fibrasi kesucian dari Hyang Widhi (Tuhan). Penjor juga menggambarkan sosok sepasang naga pemberi keselamatan (Naga Basuki) dan pemberi kehidupan (Naga Ananta Bhoga) yang merupakan simbol personifikasi dari Pertiwi atau tanah. Jadi, pemasangan penjor dimaksudkan sebagai wujudkan rasa bakti dan ucapan berterima kasih kepada Tuhan atas kemakmuran yang dilimpahkanNya.
Tafsir lain berdasarkan lontar “Tutur Dewi Tapini”, yaitu lontar yang menjadi acuan dalam membuat sesajen untuk upacara keagamaan di Bali, menyebutkan simbol-simbol dalam lontar adalah sebagai berikut:
- Bambu (dan kue) sebagai fibrasi kekuatan Dewa Brahma
- Kelapa sebagai simbol fibrasi Dewa Rudra
- kain Kuning dan Janur sebagai simbol fibrasi Dewa Mahadewa
- Daun-daunan (plawa) sebagai simbol fibrasi Dewa Sangkara
- Pala bungkah dan pala gantung sebagai simbol fibrasi Dewa Wisnu
- Tebu sebagai simbol fibrasi Dewa Sambu
- Padi sebagai simbol fibrasi Dewi Sri
- Kain putih sebagai simbol fibrasi Dewa Iswara.
- Sanggah sebagai simbol fibrasi Dewa Siwa.
- Upakara sebagai simbol fibrasi Dewa Sadha Siwa dan Parama Siwa.
Semua Dewa tersebut merupakan personifikasi dari kekuatan-kekuatan Tuhan Yang Maha Satu.
Keterangan:
Foto-foto karya Widnyana Sudibia
Penjor adalah sebatang bambu utuh dari pangkal hingga ujung yang dihias dengan pucuk enau atau janur yang diukir. Pada batang bambu tersebut juga digantungkan berbagai jenis hasil bumi yakni padi, pala bungkah (umbi-umbian), pala gantung (kelapa, mentimun, pisang, nanas), pala wija (jagung), kue dan tebu. Pada ujung bambu, digantungkan sampyan, yakni sebuah rakitan janur berbentuk seperti cupu dengan beraneka bunga dan porosan di dalamnya. Porosan adalah setangkup sirih pinang yang dikemas dengan potongan janur sepanjang ruas jari. Sebagai pelengkap, pada lengkungan penjor juga digantungkan dua lembar kecil kain berwarna putih dan kuning serta sebelas uang kepeng.
Penjor merupakan sarana upacara yang biasanya ditancapkan di depan rumah penganut Hindu di Bali terutama pada Hari raya Galungan – Kuningan. Penjor juga menjadi kelengkapan pada upacara-upacara besar di Pura.
Sebagai sarana upacara, penjor dilengkapi dengan lamak, yaitu semacam taplak panjang dari daun enau yang dirajut dengan lidi bambu. Penjor juga dilengkapi dengan Sanggah yaitu rajutan bambu berbentuk bujur sangkar dengan atap melengkung (oval).
Secara filosofis penjor merupakan simbol dari gunung yang diyakini oleh umat Hindu di Bali sebagai tempat berkumpulnya fibrasi kesucian dari Hyang Widhi (Tuhan). Penjor juga menggambarkan sosok sepasang naga pemberi keselamatan (Naga Basuki) dan pemberi kehidupan (Naga Ananta Bhoga) yang merupakan simbol personifikasi dari Pertiwi atau tanah. Jadi, pemasangan penjor dimaksudkan sebagai wujudkan rasa bakti dan ucapan berterima kasih kepada Tuhan atas kemakmuran yang dilimpahkanNya.
Tafsir lain berdasarkan lontar “Tutur Dewi Tapini”, yaitu lontar yang menjadi acuan dalam membuat sesajen untuk upacara keagamaan di Bali, menyebutkan simbol-simbol dalam lontar adalah sebagai berikut:
- Bambu (dan kue) sebagai fibrasi kekuatan Dewa Brahma
- Kelapa sebagai simbol fibrasi Dewa Rudra
- kain Kuning dan Janur sebagai simbol fibrasi Dewa Mahadewa
- Daun-daunan (plawa) sebagai simbol fibrasi Dewa Sangkara
- Pala bungkah dan pala gantung sebagai simbol fibrasi Dewa Wisnu
- Tebu sebagai simbol fibrasi Dewa Sambu
- Padi sebagai simbol fibrasi Dewi Sri
- Kain putih sebagai simbol fibrasi Dewa Iswara.
- Sanggah sebagai simbol fibrasi Dewa Siwa.
- Upakara sebagai simbol fibrasi Dewa Sadha Siwa dan Parama Siwa.
Semua Dewa tersebut merupakan personifikasi dari kekuatan-kekuatan Tuhan Yang Maha Satu.
Keterangan:
Foto-foto karya Widnyana Sudibia
Jumat, 18 Maret 2011
Welcome to Bali
Located just 8 degrees south of the Equator, the island enjoys a tropical climate with two seasons a year ( wet and dry), and has an average temperature of 28 degrees Celcius The small island of Bali stretching 140 kilometres from east to west and 80 kilometers from north to south , lies east of Java, at the centre of the Indonesian archipelago. Bali is a province within the republic of Indonesia. Its provincial capital city is Denpasar. Its road network reflects the islands mountainous nature. The tallest of the string of volcanic mountains running from east to west is Mount Agung that has last erupted in 1963. Bali was a prime rice-producer until land became scarce in the mid 1900s. Since then, the government has encouraged crop diversification, predominantly into commodity crops such as coffe, vanilla, cloves, tobacco, spices, and citrus fruits. In the daily life on this colourful island, community matters are gratly prised. Despite sporadic internal disturbances associated with political changes in Indonesia, Bali remains a place where social harmony is of tremendous importanced and visitors are regarded as welcomed guests. Even with the arrival of countless tourists over the years the Balinese have kept their strong spiritual roots and culture very much alive. The majority of Bali’s three million people live in tight village communities with substantially extended families. The main tourist areas are Kuta and Seminyak. Kuta became a major attraction during the tourist boom of the 1970s because of its white sandy beaches, great surf, and dramatic sunsets. Those in search of quieter regions tend to head to the more demure resorts of Sanur and Candidasa on the East coast, or Lovina in the Noorth. Nusa Dua on the southernmost peninsula of the island houses many popular five star resorts. The central village of Ubud, in the hilly region of Gianyar, has blossomed as a tourist destination and is now considered to be the artistic and cultural centre of Bali.
Rabu, 16 Maret 2011
Lamak, Simbol Pijakan Menuju Kesejatian
Oleh : Agung Bawantara
Lamak adalah semacam taplak dari daun enau yang dirajut dengan lidi bambu. Lamak ditempatkan di ruang-ruang kecil pada bangunan-bangunan Pura di Bali yang dinamakan dengan palinggih sebagai alas untuk meletakkan bebanten (sajian persembahan). Dalam Bahasa Kawi (Jawa Kuno), kata lamak memang berarti alas. Penggunaan lamak sebagai alas sesajen umumnya pada hari-hari besar atau upacara-upacara penting Hindu di Bali.
Selain sebagai alas persembahan, lamak juga di pasang pada penjor. Penjor adalah kelengkapan upacara di Bali yakni sebatang bambu utuh (dari pangkal hingga ujung) yang dihias dengan daun enau muda atau janur lalu dilengkapi dengan berbagai hasil bumi berupa padi, palawija dan buah.
Dalam sebuah lamak terdapat berbagai ornamen keagamaan seperti gunungan, cili-cilian, bulan, bintang, matahari dan sebagainya. Semua itu melambangkan alam semesta yang menjadi pijakan kita menapaki hidup dalam sebuah pusaran waktu menuju ke Kesejatian.
Dari sudut lain, dalam sebuah tulisannya yang menguls tentang penjor, Ida Bhagawan Dwija mengatakan bahwa lamak merupakan simbol dari Reg Weda, yakni bagian dari kitab suci Hindu yang mengajarkan tentang mantra-mantra pemujaan. Sayang Bhagawan Dwija tak mengelaborasinya lebih detil.
Keterangan Foto:
Dari kiri ke kanan, tiga foto pertama di atas menggambarkan beberapa lelaki Bali bersama-sama membuat lamak dalam ukuran panjang, lalu beberapa perempuan melanjutkannya dengan memberi ornamen. Foto terakhir menunjukkan proses pembuatan Penjor Agung, yakni penjor yang berukuran besar. Tingginya bisa mencapai 10-15 meter.
Semua foto di atas adalah karya I Made Widnyana Sudibia.
Selasa, 01 Maret 2011
Menyambut Nyepi di Pura Besakih
Oleh: Widnyana Sudibia
Tepat pada Tilem Kasanga yaitu bulan mati kesembilan yang jatuh pada Jumat, 4 Maret 2011, tahun Saka 1932 berakhir. Tahun Saka adalah tahun yang dianut oleh umat Hindu di Bali (Indonesia) sebagai poros waktu kehidupannya. Dengan penanggalan tahun inilah mereka menentukan hari-hari penting untuk melaksanakan upacara-upacara besar untuk menjaga keseimbangan alam semesta. Untuk menyambut hari baru di tahun Saka 1933, di Bancingah Agung (pelataran) Pura Agung Besakih diselenggarakan upacara Tawur Labuh Gentuh sebagai ritual titik pergantian tahun. Berbeda dengan tempat lainnya di pelosok Bali, yang juga menyelenggarakan Tawur Kasanga (yang keesokan diikuti dengan Nyepi), upacara Tawur Labuh Gentuh ini terus berlanjut dengan upacara Bhatara Turun Kabeh pada Purnama Kadasa, purnama kesepuluh, yang jatuh pada hari sabtu, 19 Maret 2011.
Ritual Tawur Labuh Gentuh dan Bhatara Turun Kabeh adalah puncak dari sekitar 120 ritual yang berlangsung selama masa setahun di seluruh pura pakideh di kawasan Pura Agung Besakih yang terdiri dar 18 pura.
Foto-foto di atas adalah prosesi Negtegan dan Ngunggahang Sunari yang dilakukan pada Minggu, 27 Februari 2011.Prosesi ini merupakan awal dari rangkaian pelaksanaan upacara Tawur Labuh Gentuh ini.
Tepat pada Tilem Kasanga yaitu bulan mati kesembilan yang jatuh pada Jumat, 4 Maret 2011, tahun Saka 1932 berakhir. Tahun Saka adalah tahun yang dianut oleh umat Hindu di Bali (Indonesia) sebagai poros waktu kehidupannya. Dengan penanggalan tahun inilah mereka menentukan hari-hari penting untuk melaksanakan upacara-upacara besar untuk menjaga keseimbangan alam semesta. Untuk menyambut hari baru di tahun Saka 1933, di Bancingah Agung (pelataran) Pura Agung Besakih diselenggarakan upacara Tawur Labuh Gentuh sebagai ritual titik pergantian tahun. Berbeda dengan tempat lainnya di pelosok Bali, yang juga menyelenggarakan Tawur Kasanga (yang keesokan diikuti dengan Nyepi), upacara Tawur Labuh Gentuh ini terus berlanjut dengan upacara Bhatara Turun Kabeh pada Purnama Kadasa, purnama kesepuluh, yang jatuh pada hari sabtu, 19 Maret 2011.
Ritual Tawur Labuh Gentuh dan Bhatara Turun Kabeh adalah puncak dari sekitar 120 ritual yang berlangsung selama masa setahun di seluruh pura pakideh di kawasan Pura Agung Besakih yang terdiri dar 18 pura.
Foto-foto di atas adalah prosesi Negtegan dan Ngunggahang Sunari yang dilakukan pada Minggu, 27 Februari 2011.Prosesi ini merupakan awal dari rangkaian pelaksanaan upacara Tawur Labuh Gentuh ini.
Langganan:
Postingan (Atom)